10 April 2007

Resepsi Pernikahan Adat Jawa

Sekilas Pernikahan Adat Jawa
Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya. Kira-kira ada 300 budaya dan bahasa daerah. Indonesia terdiri dari 13.677 kepulauan dan menpuyai 200 juta penduduk. Keanekaragaman itu sangat berpangaruh besar dalam upacara perkawinan. Pernikahan di Indonesia itu berpengaruh besar dengan budaya yang melibatkan keluarga. Salah satu budaya itu adalah tradisi perkawinan adat Jawa, tradisi perkawinan ini banyak diterapkan di Kabupaten Blora. Pesta perkawinan itu tidak hanya menyatukan 2 orang, tetapi juga menyatukan keluarga di antara kedua belah pihak. Orangtua pengantin laki-laki mengirim utusan ke orangtua pengantin perempuan untuk melamar puteri mereka. Untuk praktisnya, kedua orangtua dapat berbicara langsung. Orangtua dari kedua pengantin telah menyetujui lamaran perkawinan. Biasanya orangtua perempuan yang akan mengurus dan mempersiapkan pesta perkawinan. Mereka yang memilih perangkat dan bentuk pernikahan (antara lain Paés Agung - dandanan mewah - dan Paés Kesatrian - dadanan sederhana). Setiap model pernikahan itu berbeda dandanan dan pakaian untuk pengantin laki-laki dan pengantin perempuan (bercorak batik). Mereka mengikuti segala rencana dan susunan pesta pernikahan, seperti Siraman, Midodareni, Peningsetan, Ijab dan beberapa Upacara Perkawinan Jawa lain.
Persiapan Pernikahan
Pemaes dan panitia perkawinan Pesta pernikahan adat Jawa mempunyai beraneka ragam tradisi. Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi pemimpin dari acara pernikahan, itu sangat penting. Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan. Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan. Panitia kecil terdiri dari teman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih). Sesungguhnya upacara pernikahan itu merupakan pertunjukan besar. Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri.
Dekorasi Tarub
Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun).
•Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja.
•Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama untuk bantuan nikah.
•Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka.
•Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga.
bekletepe di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu diadakan.
Kembar Mayang
Kembar Mayang adalah karangan dari bermacam daun (sebagian besar daun kelapa di dalam batang pohon pisang). Itu dekorasi sanggat indah dan menpunya arti yang luas.
•Itu menpunyai bentuk seperti gunung: Gunung itu tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya banyak pengetahuan, pengalaman dan kesabaran.
•Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana.
•Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan hasrat untuk kehidupan yang baik.
•Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya.
•Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam mengambil keputusan untuk keluarganya.
•Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi.
•Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
•Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan.
•Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah.
•Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu digunakan untuk melindungi gangguan setan.
•Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan.
Sajen
Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat sepesial Sajen.
Tradisionil Sajen (persembahan) dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain.
Siraman sajen terdiri dari:
• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan.
• Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan: ayam, daging, tahu, telur.
• Tujuh macam bubur.
• Pisang raja dan buah lainnya.
• Kelapa muda.
• Kue manis, lemper, cendol.
• Teh dan kopi pahit.
• Rokok dan kretek.
• Lantera.
• Bunga Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci.
Upacara Siraman
Siraman: Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti menolong).
Apa saja yang harus dipersiapkan:
• Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu. Air dari sumur atau mata air.
• Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur dengan air.
• Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun.
• Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam Jawa).
• gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama.
• Kursi kecil, ditutup dengan:
• Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo benglé (tanaman untuk obat-obatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu).
• Memakai kain putih selama Siraman.
• Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari.
• Handuk.
• Kendi.
Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari, berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah pengantin laki-laki.
Pelaksanaan dari SIRAMAN:
Pengantin perempuan/laki-laki datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk memecahkan kendi ke lantai dan berkata: 'Wis Pecah Pamore' - berarti dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).
Upacara NGERIK:
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani. Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin. Dandanan itu tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup.
Upacara Midodareni
Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan.
Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam di temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan datang berkunjung; semuanya harus wanita.
Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung jawab.
Apa saja yang harus diletakan di kamar pengantin?
• Satu set Kembar Mayang.
• Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak.
• Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap srep.
• Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga) diletakan di bawah tempat tidur.
• Suruh Ayu (daun betel).
• Kacang Areca.
• Tujuh macam kain dengan corak letrek.
Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga dan tamu dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari pengantin laki-laki.
Upacara Peningsetan
Peningsetan atau Srah-Srahan, berasal dari kata singset (berarti ikatan). Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin perempuan. Mereka membawa hadiah:
• Suruh Ayu (daun betel), mengharapkan untuk keselamatan.
• Beberapa kain batik dengan corak berbeda, mengharapkan untuk kebahagiaan dan kehidupan yang baik.
• Kain Kebaya.
• Setagen putih untuk tanda kekuatan.
• Buah-buahan, mengharapkan kesehatan.
• Beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain, tanda dasar kehidupan.
• Cincin untuk pasangan pengantin.
• Sumbangan uang untuk pesta pernikahan.
Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah. Hanya pengantin laki-laki tidak bisa bertamu ke kamar pengantin perempuan yang sudah bagus di dekorasi. Pengantin laki-laki tiba bersama dengan keluarganya, tetapi dia tidak boleh masuk ke rumah. Hanya keluarganya boleh masuk ke rumah. Dia duduk di serambi depan rumah bersama dengan beberapa teman dan keluarga. Selama itu, dia hanya diberi segelas air dan tidak boleh merokok. Di boleh makan hanya setelah malam hari. Dengan maksud, dia harus menahan lapar dan godaan.
Sebelum keluarganya meninggalkan rumah, utusan dari keluarga pengantin laki-laki menyatakan kepada tuan rumah bahwa mereka akan mengambil alih tangung jawab pengantin laki-laki. Utusan menyatakan bahwa pengantin laki-laki tidak kembali ke rumah. Setelah pengunjung meninggalkan rumah, pengantin laki-laki boleh masuk ke rumah, tetapi tidak ke kamar pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan akan mengurus penginapannya.
Itu disebut Nyantri. Nyantri dilakukan untuk keamanan dan praktisnya, dengan pertimbangan bahwa besok dia harus berpakaian pengantin dan siap untuk Ijab dan upacara pernikahan lain.
Upacara Ijab
Orang Jawa biasanya bicara lahir, menikah dan meninggal adalah takdir Tuhan. Upacara pernikahan sesuai dengan pelaksanaan adalah merupakaan pertunjukan dari tradisi seni dan budaya, bagian integral dari ciri khas bangsa, di mana simbol dari kehidupan adalah kedudukan dengan martabat dan kebanggaan. Tradisi ini diwarisi sejak dari dahulu kala sampai sekarang.
Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Tempat di adakan Ijab diletakan Sanggan atau Sajen disekitarnya.
Pengantin wanita dengan gelungan, minyak rambut mengkilap, perhiasan emas dan kebaya untuk saat ini. Pengantin laki-laki juga berpakaian khusus untuk upacara ini. Pasangan pengantin muncul terbaik.
Mereka dihormati seperti Raja dan Ratu di hari itu.
Upacara Pernikahan Jawa
Upacara PANGGIH:

Suara sangat bagus dan mistik dari Gamelan digabungkan dengan tradisi Panggih atau Temu: pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub.
Pengantin laki-laki di antar oleh keluarga dekatnya (tetapi bukan orangtuanya karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang.
Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya. Di depannya dua puteri disebut Patah, dengan membawa kipas. Dua wanita dituakan atau dua putera membawa dua Kembar Mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-laki berjalan keluar dari barisan dan memberi Sanggan ke ibu pengantin perempuan, sebagai tanda dari penghargaan kepada tuan rumah dari upacara.
Selama upacara Panggih, Kembar Mayang di bawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah, melukiskan bahwa setan tidak akan menggangu selama upacara di rumah dan di sekitarnya. Untuk dekorasi, dua Kembar Mayang diletakan di samping kanan dan kiri dari kursi pasangan pengantin. Dekorasi itu hanya digunakan bila pasangan pengantin sebelumnya tidak pernah menikah.
Upacara BALANGAN SURUH:
Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulia melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau perempuan.
Upacara WIJI DADI:
Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air dicampur dengan bermacam bunga. Itu melukiskan bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah yang bertangung jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya.
Upacara SINDUR BINAYANG:
Setelah upacara Wiji Dadi, ayah pengantin perempuan mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan Sindur. Itu berarti bahwa ayah akan menunjukan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral.
Upacara TIMBANG:
Kedua pasangan pengantin duduk di atas pangkuan ayah dari pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama beratnya, berarti dia cinta mereka sederajat.
Upacara TANEM:
Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke kursi pengantin. Itu melukiskan bahwa dia menyetujui perkawinan. Dia memberi restu.
Upacara TUKAR KALPIKA:
Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.
Upacara KACAR KUCUR atau TAMPA KAYA:
Dengan dibantu oleh Pemaes, pasangan pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari kelingking ke tempat upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya. Di sana, pengantin perempuan mendapat dari pengantin laki-laki beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo benglé, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa suami akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan sangat berhati-hati dalam menerima pemberiannya di dalam kain putih, di atas tikar yang sudah diletakan di pangkuannya.
Upacara DAHAR KLIMAH atau DAHAR KEMBUL:
Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pemaes, menjadi pemimpin dari upacara, memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi kuning, dadar telur, tahu, tempe, abon dan hati ayam). Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain.
Upacara MERTUI:
Orangtua pengantin wanita menjemput orangtua pengantin laki-laki di depan rumah. Mereka berjalan bersama menuju ke tempat upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua ayah berjalan di belakang. Orangtua dari pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri dari pasangan pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan duduk di sebelah kanan dari pasangan pengantin.
Upacara SUNGKEMAN:
Mereka bersujut untuk mohon doa restu dari orangtua mereka. Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya.
Orantua pasangan pengantin memakai motif batik yang sama (Truntum), berarti pasangan akan selalu mempunyai cukup keuntungan untuk hidup baik, mereka juga memakai Sindur seperti ikat pinggang. Warna merah dari Sindur dengan pinggir berliku berarti bahwa hidup itu seperti sungai mengalir di gunung. Orangtua mengantar mereka ke kehidupan nyata dan mereka akan membentuk keluarga yang kuat.
Pesta Pernikahan
Setelah upacara Pernikahan, dilanjutkan dengan pesta resepsi. Pasangan pengantin baru bersama dengan orangtuanya menerima ucapan selamat dari para tamu.
Bersamaan dengan itu, beberapa penari Jawa menpertunjukan (tari klasiek Gathot Kaca-Pergiwo, fragment dari cerita wayang atau tari lebih modern Karonsih).
Semantara semua tamu menikmati pesta dan makan santapan, diiringi suara gamelan di ruang resepsi.

Selengkapnya..

Tayuban

Sekilas tentang Tayuban
Tayuban, sebagai buah tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Blora telah mengalami pasang-surut apresiasi. Awalnya adalah seni gambyong istana bernilai tinggi. Berkembang menjadi seni gambyong di luar istana, lantas terdegradasi menjadi seni rakyat berkualitas rendah, mesum, bertendensi prostitusi. Sampai tiba saatnya ditingkatkan menjadi kesenian tari pergaulan, namun belakangan terancam turun martabat lagi menjadi ajang ribut dan mabuk-mabukan.
Etimologi Tayuban
Ahli filologi dan folklor humanis dari Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (alm.) dalam Tradisi dari Blora (1996) menyoroti etimologi kata "tayuban" dalam dua pengertian. Pertama, berdasarkan kata dasarnya, "tayub", yang dalam tradisi lisan dikiratabahasakan menjadi "ditata cik ben guyub" (diatur agar menjadi kerukunan orang). Pemberian makna semacam ini tampak misalnya dalam naskah Tayuban: Kesenian Tradisional Khas Daerah Kabupaten Blora (tanpa tahun), susunan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Blora, Seksi Kebudayaan. Kedua, kalau merujuk pada makna kata "tayub" dalam kamus, etimologi rakyat semacam itu tentu bertolak belakang. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Suripan menemukan makna "tayub" adalah "kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek" (bersuka ria menari bersama tledek atau wanita penghibur). Namun, di antara perbedaan makna itu Suripan menyimpulkan satu hal yang sama, yakni keduanya mempunyai indikasi pada pengertian tari. Kalau ada dugaan bahwa kata "tayub" ada kaitannya dengan "nayub", kata "nayub" yang bermakna "menari-nari" terdapat pada Kekawin Bharata Yuddha karya Mpu Seddhah dan Mpu Panuluh, tahun 1079 Syaka atau tahun 1157 M. Pada pupuh XIII bait ke-8 terdapat keterangan tentang para pandawa yang, oleh Prof Dr. R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968)
diterjemahkan "menari-nari dan bergembira dengan riuhnya". Kesimpulan yang hampir sama, bahkan ditambahi unsur minuman, diterangkan dalam Kamus Kawi - Jawa susunan Winter dan Ranggawarsita (1987). Di sini, kata "nayub" diberi makna "nayub, ngombe, sukan-sukan", minum minuman keras. Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 - 1954), lewat lema "Nayub, Nayuban" membantah bahwa "nayub" berasal dari kata "tayub",
melainkan dari kata "sayub" yang memiliki arti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras. Apa pun perbedaan yang mendasari,tayuban, dalam perkembangannya kemudian memang terdiri atas dua unsur dominan: tarian dan minuman (keras). Bahwa tayuban bermetamorfosa dari seni tari-tarian biasa menjadi tari beraroma minuman keras, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati (1989), karena proses perkembangannya. Tayuban
lama-kelamaan keluar dari lingkaran pusat pemerintahan semacam keraton,
menjadi kesenian rakyat. Di lingkungan rakyat, tari ini tidak lagi terjaga dan tidak dapat menunjukkan keutamaan, melainkan menjadi seni rakyat yang bersifat kasar, rendah, dan sepele. Pada seni rakyat yang lebih lebih rendah lagi, tayuban sedikit berubah, menjadi kesenian yang disebut janggrungan. Dalam janggrungan, tulis Suripan, penari dan penyanyi tayuban berkeliling mencari penanggap demi nafkah. Di kebun tebu saat musim panen atau di tepi hutan jati di antara para blandhong (penebang kayu). Dalam tingkatan inilah, tayuban menjadi berkonotasi mesum, menjadi bentuk lain dari prostitusi. Celakanya, beberapa kesenian lain yang juga merambah ke kalangan rakyat
terjebak pada bentuk serupa. Gambyongan, ronggeng, ledek, dan tandak,misalnya, dalam suatu periode identik dengan perbuatan amoral bahkan pelacuran.
Minuman dan Suwelan dalam TAYUBAN
Sebuah gambaran di desa terpencil di antara sawah, ladang, dan hutan jati, sekitar
8 km di utara jalan raya Blora - Cepu, Jawa Tengah, sedang menghelat acara sedekah desa. Itu pertanda berakhirnya masa panen padi. Melihat kemeriahannya, sampai didatangi warga dari lain desa, bisalah disimpulkan bahwa panen kali itu terbilang berhasil. Bagi mereka yang berduyun-duyun datang, keberhasilan panen secara ekonomis tak terlalu dipersoalkan. Tayuban, tari sederhana disertai tetembangan diiringi gamelan, harus tetap meriah. Anak-anak dan perempuan merubung, sementara remaja dan laki-laki dewasa bergantian mengalungkan selendang dan menari. Ada pula balita dalam gendongan ayahnya yang ikut menari, yang secara tradisional dipahami sebagai cara memohon berkat lewat gendhing alias lagu yang dipesan. Tiga perempuan bersanggul dan berkemben, berias muka seperti umumnya bintang panggung, menyanyi bergoyang dalam iringan gamelan yang ditabuh oleh sekelompok wiyaga. Ada lagu yang masuk dalam daftar untuk disajikan, ada pula lagu yang dinyanyikan berdasarkan permintaan. Prosedur permintaan, yang kalau di kafe atau klub malam disebut request, itu cukup unik. Si pemesan, entah perseorangan atau kelompok, wajib membayar ongkos mengubah daftar lagu alias melakukan walik gendhing. Uang dengan berbagai nominal, rata-rata berkisar Rp 1.000,- hingga Rp 10.000,-, dimasukkan ke dalam bejana di depan formasi gamelan. Para laki-laki yang menari bergiliran diatur oleh seorang pria yang berfungsi sebagai pengarih atau pramugari. Mereka menari dalam aneka ekspresi. Keasyikan bertambah dengan beredarnya arak putih tradisional, bir, dan aneka minuman dalam gelas-gelas kecil. Para pemuda dan laki-laki dewasa duduk dalam beberapa kelompok sambil minum di seputar penjaja minuman maupun makanan di luar arena tari, sementara di dalam arena mereka bergantian menerima uluran sloki-sloki berisi minuman keras dari penari tayub. Minuman habis dalam satu tenggakan, kemudian si laki-laki mengeluarkan uang kertas dari sakunya, lantas diselipkan di kemben penari. Itulah suwelan, ongkos ekstra yang diterima penari-penyanyi tayub, yang jumlahnya kadang lebih besar daripada honor dari pihak yang mengundangnya. Ada laki-laki yang bersemangat menari, ada yang sibuk menempelkan badan kepada sang primadona. Ada yang mengejap-kejapkan mata tanpa peduli muka sudah merah dan berminyak, ada pula yang terhuyung-huyung. Yang terkapar di luar arena jangan ditanya. Ada yang sampai muntah segala. Padahal saat itu matahari bersinar terik, dan arena di bawah pohon kihujan raksasa cuma sebagian yang diberi atap. Satu babak tayuban berakhir menjelang sore hari. Babak berikutnya dilanjutkan malam harinya. Begitulah biasanya. Satu paket tayuban berlangsung siang dan malam.
Kemakmuran bagi pelaku seni
Di masa Orde Baru, tayuban dipupuk menjadi simbol kesenian daerah. Konotasi mesumnya dihilangkan, dikemas menjadi tari pergaulan. Ada pembinaan di tingkat dinas Kabupaten, dan tayub pun menjadi lahan profesi. Menurut Drs. H. Handono Mulyo, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Diknas Kab.Blora "Ada sekitar 1.000 penari tayub yang terdaftar yang berada di antara sekitar 6.000 pelaku aneka jenis kesenian yang masuk dalam wilayah binaan kami." Pembinaan meliputi penataran, upaya peningkatan kualitas, pengaturan, dan perizinan. "Ada potongan yang diminta dari setiap honorarium penari tayub, dan itu kami gunakan untuk menutupi kekurangan biaya seperti honor bagi mereka yang belum diangkat menjadi pegawai negeri, para pembina tingkat kecamatan, dan macam-macam lagiKebetulan, suasana kesenian di wilayah itu marak dalam beberapa tahun belakangan. Tayub berkembang beriringan dengan aneka kesenian lain seperti campursari dan musik dangdut. Ini memberi kehidupan bagi para pekerja seni. Seorang penari tayub, misalnya, dalam sekali tanggapan siang dan malam menerima honor antara Rp. 300.000,- - 500.000,-. Bagi penari senior, angkanya bisa 1,5 sampai dua kali lipat. Itu jelas jumlah bersih di luar tips dan suwelan. Setiap naik panggung, penari tayub didampingi pengguyub yang jumlahnya antara satu dan empat orang. Mereka punya honor tersendiri dan menerima suwelan pula. .Kemakmuran rata-rata penari tayub memang terasa. Badan dan wajah terawat, dandanan standar kota besar, dan ketika naik panggung pun melengkapi diri dengan bahan rias dan aksesori pakaian yang cukup berkelas, rata-rata penari tayub punya mobil Penari tayub menjadi sentral dari kelompok pertunjukan yang terdiri atas belasan orang. Tarif penyelenggaraan saat ini bisa mencapai Rp. 2.000.000,- untuk 11 - 14 orang penabuh gamelan atau wiyaga,sinden, serta biaya generator untuk listrik bagi tata lampu dan tata suara. Dari proses apakah seorang penari tayub "dilahirkan"? Seorang penari tayub menyatakan, ia bisa karena belajar sendiri. "Dari kecil saya sudah mengenal dunia ini, terus ama-lama mengikuti dan bisa. Pasti, dunia tayub tak sesimpel yang dikemukakannya. Jelas melalui proses yang cukup panjang untuk bisa punya nama, hapal ratusan lagu dan cara melantunkannya, juga punya fisik yang prima untuk terus bekerja.
Ribut itu biasa
Tak semua tayuban berlangsung vulgar dan liar. Di kawasan yang rasa keagamaannya dominan, penari tayub mengenakan kebaya dan tidak ada uang suwelan di dalam kemben. Mereka yang meminta selendang diatur melalui pendaftaran, dan ketika menari pun melepas alas kaki. Namun agaknya ciri utama tak bisa dihilangkan. Minuman keras, walau beredar di kejauhan, umumnya tetap ada. Ihwal aroma minuman keras yang semerbak di setiap tayuban, tak lepas dari kebiasaan dan melekat secara historis. Bagi penari tayub pun hal itu dianggap biasa, Pemabuk yang bertindak lepas kontrol dianggap bagian dari profesinya. Keributan sebagai akibat mabuk, juga biasa. Tapi keributan dalam tayuban tidak pernah membesar sampai jadi tawuran. Berbeda misalnya dengan pergelaran orkes dangdut atau campursari. Tayuban memang bukan semata-mata pertunjukan musik yang memisahkan pemain dengan penontonnya. Penari, penyanyi, dan penabuh gamelan adalah pusat dari acara itu sendiri. Di situlah kendali terjadi, menciptakan keasyikan tersendiri tanpa harus ribut atau berkelahi.Semoga Tayuban bisa berjalan di atas rel yang benar dan bisa menjadi salah satu ikon kesenian di Kabupaten Blora.
Dikutip berbagai sumber.

Selengkapnya..

Eksistensi Wong Samin di Era Modern

Sedulur Sikep atau lebih dikenal sebagai Wong Samin diketahui bermula dari Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarjo, Kabupaten Blora. Desa ini terletak kurang lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah perkampungan yang terletak di tengah hutan jati. Menuju Klopoduwur, maka akan melintasi areal hutan jati yang termasuk wilayah kerja HPH (Hak Pemangku Hutan) Kabupaten Blora. Sepajang jalan nampak penduduk yang hidup selaras dengan alam. Di kanan-kiri jalan banyak tumpukan kayu bakar kering yang telah diikat dengan rapi menunggu untuk diangkut. Beberapa perempuan tampak mengumpulkan daun-daun jati untuk dijual ke pasar-pasar di seputar Blora. Sekali dua melintas sepeda-sepeda dengan membawa kayu bakar di belakangnya. Meskipun desa ini berada di tengah-tengah hutan, namun kondisi jalan mulus terawat. Desa tempat munculnya ajaran Samin ini terbilang cukup maju, listrik telah menerangi sejak tahun 1987. namun kesan tradisional tidak hilang semuanya. Beberapa rumah masih menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantai tanah.
Ramah, itulah kesan yang kami tangkap saat kami bertanya letak rumah Kepala Desa Klopoduwur. Bahkan dengan penuh semangat memberikan gambaran mendetail rumah Kepala Desa mereka. Suasana kental pedesaan yang masih akrab masih terasa disini. Bukan hanya lingkungan fisik, kultur yang ada pun masih lekat dengan kehidupan desa.
Samin di Klopoduwur. Desa Klopoduwur yang tenang ini merupakan tempat pertumbuhan ajaran Samin. Adalah Raden Kohar atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Samin Surosentiko yang menyebarkan ajaran ini. Lelaki yang lahir pada 1859 ini sejatinya berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Namun, lelaki buta aksara ini memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya.
Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan.Ajaran yang pada permulaannya hanya dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini, ternyata berkembang dengan cepat. Dalam waktu kurang lebih 17 tahun pengikut ajaran Samin telah mencapai sekitar 5000 orang. Mulai tahun 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah (Belanda).
Berdasarkan catatan, pada tahun 1907 Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil. Ia bergelar Prabu Panembahan Suryangalam yang berarti mataharinya dunia. Namun sayang, hanya selama 40 hari Samin Surosentiko menjadi Ratu Adil. Ia beserta delapan pengikutnya, ditangkap dan kemudian diasingkan di Padang, Sumatra Barat hingga meninggal pada tahun 1914.
Nama Samin itu sendiri berartikan nama yang bernafas wong cilik. Pada perkembangannya penganut ajaran ini lebih menyukai disebut Sedulur Sikep. Hal ini dikarenakan pada abad ke 18-an Wong Samin mempunyai citra jelek di mata masyarakat Jawa dan dianggap sebagai sekelompok orang yang kelewat lugu hingga terkesan bodoh dan naïf. “Pandangan seperti itu salah besar, sangat salah,” sangkal Widodo, Kepala Desa Klopoduwur. Sedangkan sebutan Sedulur Sikep diartikan sebagai orang yang baik dan jujur.
Ia mengakui bahwa istilah Samin memang berkonotasi negatif, hal ini karena stigma yang berkembang membentuknya demikian, sejak zaman feodal komunitas samin menjadi komunitas yang tidak bisa diatur oleh pemerintah Belanda. Padahal yang sebenarnya orang samin adalah orang yang kelewat jujur, dengan tingkat kesopanan dan kegotongroyongannya yang sangat tinggi.
Perlawanan Tanpa Kekerasan
Widodo bercerita, ajaran Samin sedianya digunakan untuk melawan penjajahan Belanda. “Orang samin melakukan perlawanan tanpa kekerasan, namun dengan menyendiri dan membentuk komunitas sendiri,” ujar Kades bertubuh subur ini. Lebih lanjut Widodo menjelaskan, Sedulur Sikep bukan hanya menyendiri namun mereka membuat peraturan sendiri.
Komunitas Sedulur Sikep ini juga tidak mau membayar upeti/pajak kepada pemerintah kolonial Belanda. Menurut pengertian mereka, upeti itu bukan untuk kepentingan mereka maupun masyarakat pribumi namun hanya untuk kepentingan pemerintah Belanda. Dalam segi kehidupan Sedulur Sikep mempunyai lima ajaran yang dianut. Komunitas ini tidak bersekolah; tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala.Selain itu mereka juga tidak berpoligami; dan tidak memakai celana panjang. Biasanya mereka memakai baju lengan panjang tanpa krah dan celana hitam sebatas lutut atau biasa disebut celana komprang. Komunitas Sedulur Sikep juga pantang berdagang, hal ini merupakan penolakan terhadap kapitalisme. Komunitas Sedulur Sikep yang terisolir dan memiliki peraturan sendiri ini tentu saja merepotkan pemerintah Belanda. “Mereka melawan Belanda bukan dengan mengangkat senjata, tapi dengan penyangkalan,” ujar Widodo. Sebenarnya perilaku orang Samin 'Sikep' sangat jujur, lurus dan polos (lugu) tetapi juga kritis. Kepolosan mereka justru membingungkan orang. Menurutnya, orang samin dikatakan membingungkan hanya dari masalah bahasa saja.”Bahasa yang mereka pakai itu bahasa naluri, jadi kita harus pintar-pintar mengolah bahasa” ungkap ayah tiga anak ini menambahkan.
Widodo mencontohkan jika kita bertanya berapa anak mereka, maka akan dijawab dua, laki-laki dan perempuan, namun jika kita bertanya berapa jumlah anaknya, maka jawabanya bisa tiga, empat, atau lima bahkan akan disertai penjelasan berapa yang laki-laki dan berapa yang perempuan. Widodo memandang bahasa yang digunakan sedulur Samin/ Sikep seperti sabdo. Artinya, bahasa mereka merupakan bahasa yang sekali mengucap, tidak ada kata-kata yang ditarik kembali dan tidak akan diingkari.
Tergerus Zaman
Pada perkembangannya, tidak urung pengaruh kemajuan zaman juga mempengaruhi mereka. Misalnya pemakaian traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, alat-alat rumah tangga dari plastik, aluminium bahkan alat-alat elektronik telah menyentuh kehidupan mereka. Bahkan kesan sebagai komunitas yang terisolasi dari dunia luar pun telah sirna.
Widodo menuturkan, setelah listrik masuk ke desa ini pada tahun 1987 maka perkembangan kehidupan masyarakat memang semakin cepat. Apalagi jalur transportasi Blora – Randublatung melintasi desa ini. Selain itu Widodo menilai peran dari pemerintah daerah untuk ikut melestarikan sangat kurang.
”Perkembangan zaman, teknologi dan tidak adanya tangan panjang yang nguri-nguri, akhirnya ya jadinya pupus sudah,” ujarnya menyayangkan. Perhatian dari pemerintah memang kurang, bahkan untuk penelitian pun sempat ditutup. Diakui oleh Widodo, Sedulur Sikep yang masih terbilang memegang adat dengan kuat telah habis akhir tahun lalu. “Namanya Mbah Kromo,” terangnya.Sedangkan masyarakat di Klopoduwur sekarang ini telah terakulturasi menjadi masyarakat seperti pada umumnya. Bahkan ada beberapa yang berbesan dengan orang di luar daerah. “Kami merasa kehilangan salah satu budaya/tradisi,” ucapnya.
Yang diharapkan tidak terpupus zaman adalah nilai-nilai positif yang telah ada pada masyarakat Samin. Misalnya kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi. Sampai sekarang, sebenarnya nilai-nilai kegotongroyongan dan kejujuran tanpa disadari masih kental terasa.
Widodo mencontohkan sewaktu ada tetangga yang punya hajat, maka tanpa disuruh pun para Tetangga akan secara suka rela dan beramai-rami membantu hingga selesai. Bahkan untuk mengerjakan sawah banyak yang masih dilakukan dengan sistem sambatan (bergotong royong). Selain kejujuran dan kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan etos kerjanya yang tinggi. Widodo bercerita rumah Sedulur Samin biasanya adalah rumah yang sangat sederhana. Umumnya berdindingkan gedek (anyaman bambu) atau dari kulit pohon dengan atap dari daun jati.
Penataan ruangnya sangat sederhana dan masih tradisional terdiri ruang tamu yng cukup luas, kamar tidur dan dapur. Ruang tamu biasanya juga digunakan sebagai ruang makan, ruang keluarga. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan beberapa keluarga. Adapun bentuk rumahnya biasanya bekok lulang (limasan kampung).
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Di Desa Klopoduwur, petilasan komunitas Sedulur Sikep lebih dikenal dengan sebutan Karang Pace. Ditempat tersebut dulunya ditinggali kurang lebih tigapuluhan Kepala Keluarga (KK) Sedulur Sikep.
Etos kerja Sedulur Sikep juga terkenal sangat tinggi. Biasanya mereka akan berangkat ke Ladang, sawah maupun hutan pada pagi buta dan baru kembali saat senja menjelang. Di siang hari, suasana senyap akan meliputi pemukiman mereka karena masing-masing masih sibuk bekerja. Bagi mereka siang merupakan waktu untuk berkarya sebaik-baiknya.
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan juga sangat positif. Biasanya mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi bahkan sering melakukan ritual-ritual khusus untuk kelestarian alam. Hal ini selaras dengan pola pikiran mereka yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Widodo mengibaratkan jika tokoh-tokoh samin melihat keadaan alam sekarang mungkin mereka akan menangis. Maklumlah, mereka sangat dekat dengan alam bahkan setiap segi kehidupannya selalu berada di alam.
Sejak tahun 60-an, sarana pendidikan telah masuk ke desa ini. Sampai sekarang telah ada tiga buah SD (Sekolah Dasar) dan satu MI (Madrasah Ibtida’iyah). Keturunan Sedulur Sikep juga tak lagi antisekolah. Anak turunannya yang kelahiran tahun delapan puluhan semuanya sudah mengenyam pendidikan.
Biasanya orang tuanya juga sudah mendukung pendidikan anaknya. Memang, ketika Belanda masih menjajah Indonesia, masyarakat Samin menolak sekolah. Mereka menganggap sekolah menciptakan bendara (kaum elitis) yang akan menjadi antek Belanda dan bukan lagi kawula (rakyat). Kini, masyarakat Samin yang lebih dikenal dengan orang Sikep itu sudah merasa menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
Widodo melihat karena perkembangan jaman dan teknologi wajar saja bila mereka (anak muda) mungkin merasa risih. “Kita sendiri tidak perlu malu dikatakan sebagai orang Samin,” pesannya pada generasi muda. Karena sesungguhnya Sedulur Sikep memiliki khasanah budaya yang luhur, dengan kehidupan mereka yang sederhana. Satu komunitas itu terasa damai, rukun, segala sesuatu diselesaikan untuk mencari bagaimana baiknya. Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin.
Samin atau saminisme merupakan suatu ajaran mengenai idealisme atau pandangan hidup. Berasal dari kata “sami-sami” yang berarti bersama-sama..
Menurut Sutarto Kepala Desa Menden Rejo, Kecamatan Kradenan, Randublatung, Blora, sampai sekarang di daerah Randublatung masih banyak beberapa kampung yang dihuni oleh orang-orang Samin. Rasa kekeluargaan dan kerukunan terhadap sesama masih kental pada diri mereka. Contoh kongkrit yang terjadi saat ini yaitu ketika pengeboran minyak di daerah Cepu mengalami kebakaran. Perusahaan tersebut memberi dana kompensasi pada daerah sekitar yang terkena dampak kebakaran tersebut. Yang terjadi,bahwa semua orang Samin yang tinggal didaerah tersebut tidak mau menerima dana yang diberikan. Mereka hanya berkata “Opo tega, sedulure kena musibah malah awake dewe nrimo bantuan seko mereka, justru awake dewe kudu mbantu sadulur sing lagi susah”. Bertahan ditengah modernisasi demi sebuah tradisi tidaklah mudah. Samin salah satu suku yang mampu beertahan dalam melaksanakan ajaran leluhurnya. Meski sebagian masyarakat memandang samin sebelah mata (kekonyolan). Namun, kejujuran dan kerukunan terhadap sesama saudaranya, belum tentu bisa ditemui oleh orang-orang yang sudah terkontaminasi sebuah kata modernisasi.
dikutip dari Majalah ruang dan berbagai sumber.

Selengkapnya..

Samin Surosentiko dan Suku Samin

Samin Surosentiko dan Ajarannya
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh
Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto
Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.
Samin Surosentiko dan Ajarannya
Ajaran Kebatinan
Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.
Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.
Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :
“Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.”
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :
“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.”
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer” adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:
“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.
Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi :
“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing….”
Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:
“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan…,”
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “ angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.
Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.
Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup “
Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.”
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :
“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”
Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.
Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :
“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”
Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini :
“ Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi.”
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Ajaran Politik
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
1.Penolakan membayar pajak
2.penolakan memperbaiki jalan
3.penolakan jaga malam (ronda)
4.penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.
Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.
Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU DIPERHATIKAN JASA-JASANYA.

Selengkapnya..

06 April 2007

Sejarah Kabupaten Blora

Asal Usul Nama Blora : menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Blora Era Kerajaan : Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora dibawah Kerajaan Mataram : Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755): Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora dibawah Kasultanan : Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya
Blora sebagai Kabupaten : Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan : Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Selengkapnya..

Wisata Goa Terawang

Sekilas tentang Goa Terawang
Kawasan wisata Goa Terawang merupakan kompleks goa yang memiliki enam goa dalam satu kawasan, ini terbanyak di Jateng. Di dalam kawasan seluas 13 hektar itu terdapat satu goa induk, satu sendang, dan lima goa kecil lainnya. Goa ini merupakan satu-satunya goa yang di dalamnya terang di siang hari karena terkena sinar matahari. Di kompleks Wanawisata Goa Terawang terdapat kawasan arena bermain anak yang terletak 50 meter dari mulut Goa Terawang yang terasa sejuk karena dipayungi ratusan pohon jati besar.
Lokasi Goa Terawang
Lokasinya berjarak 32 kilometer arah barat Kota Blora atau 107 kilometer dari Kota Semarang.Untuk mencapai Goa Terawang sudah tersedia jalan desa yang mulus, dapat ditempuh dari Semarang-Purwodadi-Wirosari menuju ke Kunduran Kabupaten Blora. Tepat di pertigaan depan Puskesmas Kunduran, pengunjung bisa belok kiri melintasi jalan desa yang mulus sepanjang lebih kurang 8 kilometer. Kawasan wisata Goa Terawang berada persis di tepi jalan. Kalau dari Blora, pengunjung menuju ke arah pertigaan Pasar Ngawen, kemudian membelok ke kanan melintasi jalan menuju ke Japah, Padaan, Ngapus, hingga tiba di Todanan atau sekitar 10 kilometer.
Bagi pengunjung yang menggunakan angkutan umum untuk mencapai Goa Terawang, cara yang gampang adalah dengan menaik bus dari Semarang atau dari Blora, lalu turun tepat di Puskesmas Kunduran. Kemudian, pengunjung pindah ke angkutan minibus jurusan Blora-Todanan yang tersedia tiap saat. Sebaiknya pengunjung menghindari perjalanan setelah magrib atau selepas pukul 15.30. Sebab, angkutan umum yang melayani rute Kunduran ke kawasan wisata Goa Terawang sangat jarang. Memang, rambu petunjuk arah menuju ke goa itu tidak terlihat lagi. Di sepanjang jalan utama Semarang-Blora, rambu juga tidak terpasang sehingga agak merepotkan pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi. Namun, tak perlu khawatir, Anda bisa bertanya kepada setiap penduduk setempat. Pada akhir pekan sering kali ada pertunjukan hiburan musik dangdut atau kegiatan pertemuan di pendapa limasan khas rumah Blora di areal kawasan wisata Goa Terawang
Gigi "buta"
Kawasan area Goa Terawang memiliki lingkungan berhawa sejuk, segar,dengan panorama hutan yang memesona. Pertengahan November 2006,misalnya, meski kawasan itu masih diliputi musim kemarau, suhu udaranya hanya 21,8 derajat Celsius. Ketika matahari mencapai puncaknya, suhu udara di kawasan itu masih di bawah 36 derajat Celsius. Ini tiada lain berkat rimbunnya pohon-pohon jati tua yang besar dan rindang, di samping pohon besar lain, seperti pohon asam jawa dan pohon trembesi. Lokasi goa berada pada elevasi 172 meter di atas permukaan laut, di kawasan Pegunungan Kapur utara Jateng bagian timur. Goa Terawang terletak di relung bagian bawah. Menuju ke pintu goa tersedia anak tangga yang dilengkapi besi pengaman di bagian tengahnya sepanjang 15
meter. Ketinggian kelima goa yang ada di kawasan Goa Terawang bervariasi antara 1 meter dan 24 meter. Lebarnya juga bervariasi, dari 3 meter hingga 18 meter. Goa Terawang ini memanjang, menyerupai deretan rumah yang saling terhubung sepanjang 600 meter lebih. Tinggi langit-langitnya juga bervariasi, antara empat meter. Ada yang berbentuk parabola dihiasi stalaktit berbagai bentuk yang menawan. Bila musim hujan, stalaktit dan stalagmit akan meneteskan air sepanjang musim. Dalam sejarahnya tidak ada legenda rakyat yang mengemuka dari kawasan wisata Goa Terawang. Goa ini sudah dikenal sejak zaman raja-raja Jawa untuk tempat bertapa guna memperoleh kekuatan mistis.Pada masa pemerintahan Belanda, goa ini banyak menyimpan sejarah karena sering digunakan untuk pertemuan Bupati Blora semasa RMA Cokronegoro dengan pejabat-pejabat Belanda. Konon, tiap akhir pertemuan selalu diadakan pesta dansa bagi pejabat yang hadir. Namun, pada masa perang kemerdekaan, goa ini menjadi daerah pertahanan bagi para pejuang. Keunikan di Goa Terawang ini, para pengunjung leluasa mengamati goa di
siang hari. Di langit-langit goa terdapat sejumlah lubang alami yang memungkinkan sinar matahari menerobos masuk ke dalam dan menerangi bagian dalam goa. Oleh sebab itu, goa ini disebut Goa Terawang. Berkat lubang-lubang cahaya tadi, pengunjung tidak saja mendapat sirkulasi udara yang segar, tetapi bisa dengan saksama mengamati
keunikan dan keragaman bentuk-bentuk stalaktit dan stalagmit yang terdapat di dalam goa. Diyakini, stalaktit dan stalagmit yang ada di dalam goa itu masih tumbuh dan memberikan keragaman bentuk, seperti cumi-cumi raksasa atau jamur. Sementara stalaktit yang menjuntai ke bawah dari dinding atas berpadu menyambung dari langit-langit hingga lantai goa. Di salah satu sudut dinding goa, pengunjung juga bisa menemukan stalaktit mirip gigi "buta" (raksasa). Cahaya yang masuk ke dalam goa itu menciptakan bias sinar matahari yang memberi kesan tersendiri. Ada nuansa "pencerahan" pada berkas-berkas cahaya yang jatuh menimpa bagian-bagian tertentu dinding goa. Seperti ada yang mengatur saja, cahaya yang masuk itu hanya menerangi panorama tertentu, tetapi memperjelas detail tiap sudut goa. Jadi, bayangan bahwa goa itu angker menjadi sirna. Yang ada lukisan alam yang menakjubkan.
Pengunjung
Berdasarkan catatan, pengunjung wisata goa ini dari tahun ke tahun
cenderung menurun. Salah satu penyebabnya, goa-goa tersebut dibiarkan
alami dan kurang dirawat oleh pihak pengelola. Oleh karena itu, upaya
menggairahkan wisata goa kini tengah gencar digalakkan oleh Dinas
Pariwisata Jawa Tengah (Jateng). Jumlah wisatawan lokal yang berkunjung ke Goa Terawang pernah mencapai puncaknya pada tahun 2004, yakni 6.711 orang. Lalu, pada tahun 2005 jumlahnya menurun menjadi 4.684 pengunjung.

Selengkapnya..

27 March 2007

Wisata Loco di Hutan Cepu

Sekilas Tentang Wisata Loco
Blora, kabupatenku yang terletak paling timur Jateng ini, terbukti cukup jeli dalam menggarap sektor wisata. Sadar bahwa daerahnya lebih banyak dikepung hutan jati, maka Pemkab setempat tidak punya keinginan membangun kawasan wisata lain kecuali mengoptimalkan potensi hutan yang telah dimilikinya. Sejak kawasan hutan yang terbentang luas dimaksimalkan sebagai tempat wisata, Blora langsung merengkuh dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama, berupa pemasukan retribusi yang terbukti mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keuntungan kedua, berupa pengakuan dari masyarakat luar daerah, bahwa ternyata Blora tidak seburuk yang dikatakan orang. Kini, banyak wisatawan dalam negeri maupun manca negara merasa penasaran jika belum menyaksikan potensi wisata hutan di Blora. Beragam cerita yang berkembang mengatakan, apabila kita menelusuri kedalaman hutan di Blora, maka kita akan bisa mengintip keindahan “surga”. Salah satu sarana bagi wisatawan untuk dapat mengintip keindahan “surga” tadi antara lain dengan memanfaatkan Loko Tour. Loko Tour ini merupakan paket perjalanan wisata di Hutan Jati KPH Cepu, Blora, dengan rangkaian kereta api yang ditarik lokomotif tua buatan Berliner Maschinenbaun,Jerman, tahun 1928.
Rute menuju Loko Tour
Untuk menuju Loko Tour, para wisatawan dapat menempuhnya dengan kendaraan roda empat atau bus melalui jalur Surakarta–Ngawi-Cepu (122 km),Surakarta-Purwodadi-Blora-Cepu (161 km), Semarang-Purwodadi-Blora-Cepu (162 km),Semarang-Kudus-Rembang-Cepu (182 km),dan Surabaya-Bojonegoro-Cepu (149 km). Khusus perjalanan yang ditempuh dari Surakarta, meskipun agak jauh namun lebih menguntungkan bagi wisatawan. Sebab pada jalur ini, wisatawan dapat singgah terlebih dulu di Museum Purbakala Sangiran Kabupaten Sragen, atau menyaksikan keajaiban alam Bledug Kuwu di Grobogan. Bledug Kuwu merupakan daerah penghasil garam tradisional, dimana bahan baku air asinnya bersumber dari kawah yang terlontar dari dalam tanah.
Atraksi Wisata Loco Tour
Obyek utama perjalanan ini adalah melihat hutan jati (tectoca grandis) yang dikelola dengan memperhatikan azas kelestarian hutan. Loko Tour yang dipersiapkan khusus untuk kaum wisatawan, rutenya sangat panjang. Dengan melintasi hutan jati di wilayah BKPH Ledok, Kendilan, Pasar Sore, Blungun, Nglobo. Cabak, dan Nglebur. Dalam ketataprajaan, lokasi-lokasi tersebut berada di wilayah Kecamatan Cepu, Sambong,
Jepon, Jiken, Kabupaten Blora. Sedang dua wilayah lainnya, masuk wilayah Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, Jatim. Sejumlah obyek wisata yang bisa disaksikan dalam paket Loko Tour tadi selain lokomotif tua buatan tahun 1928, juga ada Bengkel Traksi, TPK Batokan, Bergojo, Kegiatan Pengelolaan Huta Jati berprinsip pada azas kelestarian hutan (penanaman, pemeliharaan, tebangan, saradan,angkutan), serta Gubug Payung. Bergojo, adalah semacam tempat penampungan air untuk keperluan lokomotif yang terletak di tengah hutan. Di sini, lokomotif akan berhenti sejenak mengisi air. Ketika loko diisi air, para wisatawan diizinkan turun untuk menyaksikan keelokan hutan Blora yang terkenal dengan para pencuri kayunya itu. Sekitar dua kilometer dari Bengkel Traksi, peserta Loko Tour bakal ditunjukkan tempat penimbunan kayu (TPK) Batokan. TPK ini memiliki areal seluas 36,2 hektar, berdaya tampung 40.000 m3 kayu pertukangan dan 10.000 sm. Bersebelahan dengan TPK Batokan, terdapat Industri Pengolahan Kayu Jati (IPKJ) Cepu.Setelah penat berputar, wisatawan peserta Loko Tour oleh pemandu wisata dari Perum Perhutani dibawa ke Gubug Payung. Gubug di pedalaman hutan ini merupakan tempat peristirahatan yang memiliki Monumen Hutan Jati Alam, terletak pada petak 1.092a, BKPH Pasar Sore, KPH Cepu inilah, pengunjung dapat melihat pohon-pohon jati tua yang pernah dipotong tahun 1976. Pohon jati itu sendiri berumur lebih 100 tahun. Ini dibuktikan dengan menghitung lingkaran tahun pada penampang batang yang dipotong, berjumlah sekitar 108 lingkaran. Apabila para wisatawan ingin melakukan paket perjalanan selama dua hari atau lebih dengan Loko Tour, maka panitia telah menyediakan tiga tempat penginapan. Yaitu di Duta Ubaya Rimba (12 kamar), Wisma Sorogo (5 kamar), dan Pesanggrahan (4 kamar). Tarif perjalanan paket Loko Tour ini tergolong murah, hanya 40 dolar/orang/hari, termasuk biaya penginapan dan makan. Selepas menghilangkan rasa penat di Gubug Payung, wisatawan dapat melanjutkan perjalanan dengan menyaksikan sistem tebang, saradan, dan
pengangkutan kayu jati, secara langsung di tengah hutan. Dua tahun sebelum ditebang pohon jati mesti dimatikan terlebih dengan cara diteres. Proses ini merupakan upaya mengurangi kadar air di dalam kayu. Dengan langkah tersebut kelak akan diperoleh kayu jati berkualitas tinggi, lebih awet, tidak mudah pecah, ringan waktu diangkut, dan mudah dikerjakan. Setelah mengalami teresan selama dua tahun, pohon jati baru ditebang. Penebangan dilakukan para blandong, yaitu tukang tebang professional yang tinggal di seputar hutan.

Selengkapnya..

26 February 2007

Kabupatenku Blora

Risalah Kabupaten Blora
Kabupaten Blora, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Blora, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten Ngawi Jawa Timur di selatan, serta Kabupaten Grobogan di barat.
Kondisi Wilayah
Letak Geografis : Diantara 111°016'338'' bujur timur dan 6° lintang selatan. Luas wilayah : 1.821,59 km2. Susunan tanah 56% gromosal, 39% mediteran dan 5% aluvial. Luas Lahan : 46.186,9906 Ha, Penggunaan Lahan terbagi atas Sawah tadah : 2878,2380 Ha, Sawah irigasi teknis : 4114,0000 Ha, Sawah irigasi sederhana : 7449,0000 Ha, Sawah irigasi desa (non Pu) : 1640,000 Ha, Sawah irigasi setangah teknis : 967.0000 Ha, Tegalan (ladang) : 26315,3338 Ha, Pekarangan seluas : 6705,1598 Ha, Hutan : 89.000 Ha, Lain - lain (waduk, kuburan, lapangan, dll) : 2373,3415 Ha.
Geografi
Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng, yang membentang dari timur Semarang hingga Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Ibukota kabupaten Blora sendiri terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara. Separuh dari wilayah Kabupaten Blora merupakan kawasan hutan, terutama di bagian utara, timur, dan selatan. Dataran rendah di bagian tengah umumnya merupakan areal sawah.Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air baik untuk air minum maupun untuk irigasi pada musim kemarau, terutama di daerah pegunungan kapur. Sementara pada musim penghujan, rawan banjir longsor di sejumlah kawasan Kali Lusi merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora, bermata air di Pegunungan Kapur Utara Rembang, mengalir ke arah timur yang akhirnya bergabung dengan Kali Serang.
Pembagian Administrasi
Kabupaten Blora terdiri atas 16 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Blora, Blora
Di samping Blora, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalahCepu, Ngawen dan Randublatung.
Penduduk
Berdasarkan hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2001, penduduk Kabupaten Blora tercatat sebanyak 829.565 jiwa, perempuan sebanyak 419.771 jiwa dan laki-laki sebanyak 409.794 jiwa dengan sex ratio sebesar 97,62.
Kecamatan Blora memiliki penduduk terbanyak 87.131 sedangkan Bogorejo memiliki penduduk paling sedikit23.693.Kecamatan Jiken memiliki sex ratio tertinggi 101,40 sedangkan Todanan memiliki sex ratio terkecil 92,64.Penduduk Kabupaten Blora pada umumnya berumur antara 5 hingga 9 tahun (990.684 jiwa) sedangkan yang berumur 75 tahun ke atas jumlahnya paling kecil, artinya penduduk blora relatif merupakan penduduk muda. Kondisi ini lebih ditegaskan dengan pengelompokan umur penduduk dewasa dan anak-anak, dimana penduduk dewasa berjumlah 235.267 jiwa dan penduduk anak-anak berjumlah 580.960 jiwa. Dalam satu dasawarsa terakhir tingkat pertumbuhan penduduk adalah sekitar 0,97 persen pertahun dalam satu dasa warsa terakhir. Tingkat kelahiran per 1.000 penduduk (CBR) di Kabupaten Blora sebesar 6,37, dengan CBR tertinggi di Kecamatan Jati (11,2) dan terendah di Kecamatan Kradenan (2,64). Tingkat kematian per !.000 penduduk (CDR) di Kabupaten Blora sebesar 4,61, dengan CDR tertinggi di Kecamatan Tunjungan 6,41 dan terendah di Kecamatan Ngawen 2,23. Kepadatan penduduk Kabupaten Blora sebesar 448 jiwa/km2, jadi di bawah tingkat kepadatan penduduk Propinsi Jawa Tengah (919 jiwa/km2), Kecamatan Cepu memiliki tingakat kepadatan tertinggi 1.492 jiwa/km2 dan Kecamatan Jiken memiliki tingkat kepadatan terendah sebesar 211 jiwa/km2.
Sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup utama penduduk. Berdasarkan hasil SUSENAS terdapat sebanyak 282.408 jiwa atau 73,58 persen penduduk yang berusaha di sektor ini dan hanya sebagian kecil saja penduduk yang bermata pencaharian di sektor lain misalnya listrik, gas dan air minum yaitu 952 jiwa atau 0,51 persen.
Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya yang sangat di butuhkan untuk membangun wilayah. Permintaan tenaga kerja di catat sebanyak 3.492. Penawaran tertinggi didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan setingkat SLTA sedangkan permintaan terendah didominasi untuk tenaga kerja berpendidikan SD.
Perekonomian
Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Kabupaten Blora. Pada sub-sektor kehutanan, Blora adalah salah satu daerah utama penghasil kayu jati berkualitas tinggi di Pulau Jawa.
Daerah Cepu sejak lama dikenal sebagai daerah tambang minyak bumi , yang dieksploitasi sejak era Hindia Belanda. Blora mendapat sorotan nasional ketika di kawasan Blok Cepu ditemukan cadangan minyak bumi sebanyak 250 juta barel. Bulan Maret 2006 Exxon Mobil Indonesia ditunjuk sebagai pengelola tambang tersebut.
Hotel dan Pariwisata.
Jenis pariwisata yang ada di Kabupaten Blora yang terbanyak adalah pariwisata alam. Dinas Pariwisata mencatat 27 buah objek wisata dimana 17 diantaranya merupakan gua, selain itu terdapat sebuah objek pariwisata yang cukup menarik, namun kurang diminati wisatawan domestik yaitu Loco Tour yang berada di tengah hutan wilayah KPH Cepu. Jumlah pengunjung untuk semua objek tersebut sebanyak 59 ribu orang.
Hotel merupakan salah satu sarana bagi wisatawan pendatang yang ingin menginap. Hotel yang ada di Blora berjumlah 18 buah satu diantaranya merupakan hotel berbintang, dengan jumlah kamar 372 buah dan tempat tidur sebanyak 667 buah.
Rupa-rupa
• Makanan khas Blora adalah: sate blora, lontong tahu, limun kawis, serabi, dan moho.
• Kesenian khas Blora adalah: Barongan, dan Tayub.
• Tokoh terkenal asal Blora adalah: Pramudya Ananta Toer, Aryo Penangsang, dan Mpu Baradha.

Selengkapnya..